Kota Bekasi - Pembentukan MK sebenarnya idenya sudah tercetus saat sidang BPUPKI tahun 1945. Kala itu, Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H melontarkan gagasan tentang perlu dibentuknya organ yang menguji undang-undang terhadap UUD.
Sayang, ide Yamin kandas begitu saja, dan tidak dimasukkan dalam rumusan UUD 1945. Pasca reformasi, ide pembentukan MK menguat kembali. Konkretnya, lahir Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945, amandemen perubahan ketiga pada 10 November 2001.
Lalu, ditindaklanjuti dengan pengesahan UU No. 24 Tahun 2003 yang menandai lahirnya MK sebagai negara yang ke-78 yang memiliki MK.
Sejak berdiri hingga kini, eksistensi MK mulai mewarnai praktik sistem ketatanegaraan Indonesia lewat putusan-putusannya yang dinilai progresif.
Awal kiprahnya, MK periode pertama (2003-2008) di bawah kepemimpinan Prof. Jimly Asshiddiqie, belum memiliki gedung sendiri meski sudah dibebani pelimpahan perkara dari MA.
Sejak resmi berdiri desain Gedung MK mengkombinasi antara podium dan menara.
Podium yang terdiri dari 4 lantai dengan gaya klasik tampil sebagai gedung utama, sedangkan menaranya yang terdiri dari 16 lantai dibangun dengan gaya modern menjadi background podium.
Bagian podium dilengkapi dengan tangga, pilar-pilar, kubah, dan mahkota kubah. Sementara bagian menara meski dirancang dengan gaya modern, tetapi tetap menampilkan gaya gotik dengan sentuhan nuansa klasik.
Tentunya, gaya arsitektur setiap sisi bangunan gedung MK merefleksikan minat seni dan sarat makna.
Misalnya, makna simbol pilar yang berjumlah sembilan buah mencerminkan jumlah Hakim Konstitusi yang menjadi garda depan berfungsinya lembaga “pengawal konstitusi“ ini.
“Sebenarnya, pilar berjumlah ganjil ini tidak dikenal rumus arsitektur, makanya sempat ditentang oleh Tim Penasihat Arsitektur Kota DKI, tetapi Ketua MK Jimly tetap mempertahankan desain sembilan pilar itu karena tidak ada aturan yang melarang,” kata Janejdri M. Gaffar.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie bercerita tentang filosofi berdirinya sembilan pilar di gedung MK.
Menurut Jimly, sembilan pilar tersebut tidak sembarang didirikan. Ada nilai dan sejarah besar yang harus dijadikan pegangan para hakim.
"Mohon dicatat, sembilan tiang itu very meaningful," kata Jimly.
Jimly bercerita, sembilan tiang itu melambangkan sembilan hakim MK. Setiap hakim harus berdiri sendiri supaya konstitusi berdiri dengan tegak.
Bahkan, antara satu hakim dengan lainnya tidak boleh saling memengaruhi.
"Tidak boleh saling memengaruhi. Masing-masing hakim harus berdiri sebagai pilar keadilan sendiri," katanya.
Sebagai Ketua MK pertama, Jimly menyaksikan sejarah didirikannya Gedung MK.
Ia sendiri yang menginisasi supaya bangunan MK disokong sembilan tiang utama.
Pada awalnya, gagasan Jimly itu ditolak oleh arsitek manapun. Para arsitek menyarankan supaya Gedung MK dibangun dengan tiang berjumlah genap.
Saran itu ditolak Jimly. Ia ngotot hingga mengadu ke Gubernur DKI Jakarta kala itu, Sutiyoso, supaya memerintahkan Dewan Aristektur DKI dapat membangun sembilan pilar yang menyokong gedung MK.
"Maka dia buatlah rapat, enggak pernah itu (sebelumnya) gubernur mengadakan rapat dengan Dewan Arsitektur Kota. (Setelah rapat) datang ini gubernur, (mengatakan), mohon maaf prof, saya tidak berhasil," ujar Jimly.
Jimly tak menceritakan lebih lanjut bagaimana akhirnya pembangunan Gedung MK dengan sembilan pilar dapat disetujui.
Ia hanya menekankan bahwa arti sembilan pilar itu tidak sembarangan.
"Jadi ini angka sembilan ini soal serius. Soal the philosophy of pilar kebenaran constitutional dan peradilan,"
"Sembilan hakim mencerminkan pluralisme sembilan cara berpikir masyarakat Indonesia"
"Gedung Gotik Mahkamah Peradilan di berbagai Negara seperti Jerman, Inggris dan Amerika semua tiangnya genap yaitu enam ,delapan, dan sepuluh"
"Tidak ada gedung gotik di Dunia yang tiangnya ganjil kecuali di Republik Indonesia karena memiliki sejarah Wali Songo" ungkapnya.
(Red)