no-style

Kisah Tanah Jawa: Perang Pajang dan Mataram

, 1/05/2023 WIB Last Updated 2024-01-12T07:27:11Z

 


Siapa Sultan Hadiwijaya?


Ketika Raden Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging dari Pajang merupakan trah keturunan Majapahit cucu Raja Brawijaya V yang merupakan murid dari Syaikh Siti Jenar wafat karena dibunuh oleh Sunan Kudus karena dianggap memberontak kepada Kesultanan Demak Bintoro, ia meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet, yang diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir. 


Mas Karebet atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir justru memutuskan untuk mengabdi pada Kesultanan Demak Bintoro hingga menjadi Adipati Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.



Siapa Ki Ageng Pamanahan?


Ki Ageng Pamanahan merupakan anak dari Ki Ageng Henis, keturunan dari Ki Ageng Sela.


Ki Ageng Sela atau Kyai Ngabdurahman adalah tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Kerajaan Demak. Ia dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan, menangkap dan mengikat petir yang mengganggunya ketika mencangkul sawah bertani dipohon.



Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang –perpangkat besar dan orang kecil– datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat wujud petir hasil tangkapan Ki Ageng Sela


Kisah Ki Ageng Sela menangkap petir ini diabadikan dalam sebuah ukiran di Lawang Bledheg, pintu petir di Masjid Agung Demak.


Konon, gambar petir itu merupakan perwujudan petir asli yang sempat ditangkap oleh Ki Ageng Sela.


Wujudnya menyerupai ular naga yang kemudian diikat di bawah pohoh gandrik dan dilukis atas perintah Sultan Demak saat itu.




Ki Ageng Pamanahan dan adik angkatnya, Ki Penjawi, pindah ke Pajang untuk mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya dijadikan Lurah Wiratamtama di Pajang.


Membantu Sultan Hadiwijaya


Sepeninggal Sultan Trenggano pada 1546, Kesultanan Demak Bintoro mengalami gejolak dan krisis politik.


Sultan Trenggono tewas dalam ekspedisi militer di Panarukan, Jawa Timur, pada tahun 1546 M, setelah terjadi perebutan kekuasaan.


Pangeran Sekar atau Raden Kikin adalah adik Pangeran Trenggono, karena anak dari istri ketiga Sultan Fatah, putri Adipati Jipang. 


Pangeran Sekar lebih tua dari Pangeran Trenggono, namun Pangeran Trenggono adalah anak dari istri pertama Sultan Fatah, putri Sunan Ampel.


Kedua pangeran itu merasa berhak atas kuasa kesultanan Demak Bintoro.


Sultan Trenggono pun merasa berhak menjadi Raja Demak. Lalu Pangeran Prawata, anak Sultan Trenggono, lalu membunuh Pangeran Sekar di pinggir sungai sehingga dikenal dengan nama Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen.


Sedangkan Arya Penangsang adalah putra dari Pangeran Sekar yang tahu bahwa ayahnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Arya Penangsang akan menuntut darah ayahnya, dengan membunuh keluarga Sultan Trenggono.


Arya Penangsang pun mendapat dukungan dari gurunya, Sunan Kudus. Arya Penangsang menyuruh abdinya membunuh Pangeran Prawata. 


Utusan Arya Penangsang yang lain berangkat ke Pajang untuk membunuh Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dengan keris Kyai Brongot Setan Kober, adik ipar Ratu Kencana atau Ratu Kalinyamat, namun rencana tesebut gagal karena kesaktian Hadiwijaya dan keris itu dikembalikan lewat utusan pembunuh itu ke Arya Penangsang.


Ratu Kalinyamat pun mendengar kabar adiknya Pangeran Prawata tewas di tangan utusan Arya Penangsang. 


Ia bersama Sultan Hadirin pergi menghadap Sunan Kudus untuk mendapatkan keadilan. Sunan Kudus ternyata mendukung Arya Penangsang.


Sunan Kudus mengatakan bahwa itu akibat dari tindakan Sunan Prawoto yang membunuh Pangeran Sekar Sedo Lepen. Pernyataan itu membuat hati Ratu Kencana dan Sultan Hadirin sakit hati.


Dalam perjalanan pulang kembali ke Istana Japara, rombongan Ratu Kencana dan Sultan Hadirin dihadang serongpati-serongpati (pembunuh bayaran) utusan Arya Penangsang. 


Sultan Hadirin terluka parah hingga akhirnya tewas.


Kehilangan dua orang yang dicintai, membuat Ratu Kalinyamat bersedih hati. Ia pun bersumpah akan membalas dendam kematian orang yang dicintainya tersebut.


Lalu Ratu Kalinyamat memutuskan melakukan tapa telanjang atau topo wudo dan ritual itu baru akan selesai setelah berhasil memakai kapala Haryo Penangsang sebagai alas kaki


Ratu Kalinyamat pun bersumpah:


" Ora pisan-pisan ingsun jengkar saka tapa ingsun yen durung iso kramas getihe lan kesed jambule Arya Penangsang."


"Artinya Ia tidak akan menghentikan laku tapanya jika belum bisa keramas rambut dan darah Arya Penangsang".


Ratu Kalinyamat pun melakukan ritual tapa wudo. Mula-mula, dilakukan di Gelang Mantingan, lalu pindah ke Desa Danarasa, berakhir di tempat Donorojo Tulakan Keling Jepara.


"Itu ungkapan sanepo orang-orang Jawa kuno. Masyarakat menafsirkan ritual topo wudo bertapa sambil melepaskan semua pakaiannya."


"Padahal 'topo wudo' yang dilakukan Ratu Kalinyamat bukan dengan bertelanjang. Melainkan meninggalkan semua atribut kerajaan sebagai seorang Ratu, berbaur dengan masyarakat desa,"



Konon Arya Panangsang Adipati Jipang memiliki keris Kyai Setan Kober yang terkenal ampuh dan sakti dan kuda tunggangan yang juga kuat dan tangguh yaitu Gagak Rimang.


Kyai Setan Kober pernah menjadi guru besar tujuh aliran dalam waktu yang lama, bahkan hingga ratusan tahun lamanya.


Dia terlahir dari seorang Banaspati Agung dan merupakan keturunan siluman bangsa api.


Lalu Kyai Setan Kober menciptakan keris yang sakti mandraguna yang akhirnya dinamai dengan keris Kyai Brongot Setan Kober. 


Namun pada akhirnya keris tersebut sampai ketangan Arya Penangsang.


Versi lain menceritakan keris Kyai Setan Kober merupakan keris yang di babar atau ditempa oleh Mpu Supo Mandrangi.


Seorang Mpu sakti legendaris yang juga membabar keris Nogososro dan keris sakti lainnya di zaman Majapahit.


Sehingga keris Setan Kober diberikan pada Sunan Kudus, lalu oleh Sunan Kudus diberikan kepada Arya Penangsang.


Keris Kyai Setan Kober terkenal sakti dan ampuh, akan tetapi keris ini memiliki aura panas.


Pemilik keris ini bisa menjadi tidak terkontrol emosinya, seperti halnya watak dari Arya Penangsang yang mudah tersulut emosinya


Hadiwijaya atau Jaka Tingkir walaupun terkenal sakti segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga dan sama-sama murid para Wali Sunan.


Setelah itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara untuk membunuh Arya Penangsang.


Sayembara itu diikuti oleh Ki Ageng Pamanahan dan adiknya, Ki Panjawi, atas dorongan Ki Juru Martani, kakak ipar Pamanahan.



Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya


Atas nasihat dari Ki Juru Martani diketahui bahwa Arya Penangsang atau Arya Jipang sering menjalani puasa 40 hari. Menurut pesan gurunya, Sunan Kudus, selama berpuasa tersebut tidak boleh marah dan harus menahan emosi. 


Maka ketika mengetahui bahwa saat itu Arya Jipang sedang menjalani puasa 40 hari tersebut, Ki Penjawi kemudian mengatur cara yang licik untuk mengalahkan Arya Jipang. 


Surat itu dikirim dengan cara memotong telinga abdi Arya Jipang yang sedang mencari rumput untuk kudanya, gagak rimang. Setelah dipotong, telinga abdi pencari rumput itu ditempeli surat tantangan atas nama Sultan Hadiwijaya.


Arya Jipang sangat marah ketika melihat telinga abdinya dipotong dan ditempeli surat tantangan berperang. Arya Jipang membanting piring yang dipegangnya dan menggebrak meja yang penuh dengan makanan. Kebetulan saat itu sedang menyantap buka puasa.


“Ini penghinaan Sultan Hadiwijaya terhadap Arya Jipang! Aku harus meladeninya!”


“Sabarlah Kanjeng Adipati. Ingatlah pesan Sunan Kudus agar Adipati menahan amarah selama 40 hari. Ingatlah Kanjeng, puasa yang sedang kanjeng jalani hanya tinggal satu hari lagi.”


“Benar Anakku, janganlah kau masuk ke dalam perangkap orang-orang Pajang yang berniat membatalkan puasamu.” kata patih Metahun dan ibu Arya Jipang membujuk anaknya.


Demikian juga adiknya Arya Mataram ikut pulang membujuk kakaknya, Arya Jipang, agar tidak terbawa emosi saat sedang puasa dan mengurungkan niatnya untuk meladeni tantangan tersebut.


“Kangmas tidak perlu meladeni siasat jahat Sultan Hadiwijaya. Ingatlah, Kangmas adalah keturunan Sultan Patah yang luhur. Tidak pantas menjawab tantangan dengan marah, apalagi Kangmas sedang dalam masa berpuasa. Sabarlah barang sehari saja,”


Namun, emosi yang memuncak telah membuat Arya Jipang mengabaikan nasihat orang-orang yang mencintainya. Ia akhirnya berangkat menghadapi tantangan untuk berperang melawan Sultan Hadiwijaya. Ia tidak mengetahui siasat licik yang sedang dijalankan oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Ageng Mertani. 


Dengan mengendarai kuda kesayangannya Gagak Rimang dan membawa pusakanya keris Kyai Setan Kober, Arya Jipang menjumpai musuhnya di tempat Bengawan Sore. 


Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Mertani serta Sutawijaya sudah berada di seberang Bengawan Sore. 


Mereka bertiga tidak berani menyeberangi Bengawan Sore karena mereka tahu Sunan Kudus sudah memantrainya.


Demikian pula Arya Jipang tidak berani menyebrangi Bengawan Sore karena ingat pesan Sunan Kudus, gurunya, agar tidak menyebrangi Bengawan Sore. Siapapun yang menyeberangi Bengawan Sore akan kalah.


Hai Sultan Hadiwijaya, janganlah bersembunyi. Kalau berani, keluarlah! Lawanlah aku!”


Namun, Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Mertani serta Sutawijaya tidak menjawab. Hingga berulang Arya Jipang berteriak, tetap tidak ada jawaban. Ki Juru Mertani mengeluarkan siasatnya. 


Sutawijaya disuruh menaiki kuda betina yang sudah dipotong ekornya sehingga kelihatan alat vitalnya. 


Alangkah kagetnya Arya Jipang. Yang keluar bukan Sultan Hadiwijaya melainkan Sutawijaya anak angkatnya. Sadarlah ia bahwa telah diperdaya oleh Sultan Hadiwijaya.


Belum hilang rasa kagetnya dari tipu muslihat Sultan Hadiwijaya tersebut, Arya Jipang dikagetkan oleh Gagak Remang, kuda jantan tunggangannya. Gagak Rimang menjadi liar dan tidak terkendali ketika melihat kuda betina yang dinaiki Sutawijaya. 


Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. 


Perang antara Pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore.


Mereka duel di tepi bengawan sore, antara Cepu dan Blora.


Dalam perang tersebut perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kiai Plered milik Sutawijaya.


Meskipun demikian kesaktian yang dimiliki oleh Arya Penangsang membuatnya tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.


Arya Jipang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Jipang malah terpotong sehingga menyebabkan kematiannya. 


Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang tewas pula, sedangkan Arya Mataram dan istrinya serta beberapa kerabat berhasil meloloskan diri ke Palembang.


Ritual tapa telanjang Ratu Kalinyamat berakhir setelah Sultan Pajang menghadap Ratu Kalinyamat sambil menenteng penggalan kepala Aryo Penangsang dan semangkok darahnya.


Kepala Haryo Penangsang digunakan untuk keset oleh Nyi Ratu Kalinyamat, dan darahnya digunakan untuk keramas.


Setelah Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang. Mereka bertiga pun pulang ke Pajang dan membuat laporan palsu ke Sultan Hadiwijaya bahwa Arya Jipang telah mati dikeroyok oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Martani. 


Mereka membuat laporan palsu tersebut dengan maksud agar tetap mendapat hadiah Bumi Mataram, mereka takut Sultan ingkar janji jika mengetahui anak angkatnya sendiri Danang Sutawijaya yang membunuh Arya Panangsang atau Arya Jipang


Pelantikan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) Menjadi Sultan Demak Bintoro


Pada 1549, Sultan Hadiwijaya dilantik menjadi Sultan Demak Bintoro.


Maka dari itu, penobatan Joko Tingkir menjadi raja dengan gelar Prabu Adiwijaya, dinobatkan dan dilantik oleh Sunan Mrapen (Prapen) di pesantren atau kedatuan Giri Kedathon (Gresik).


Namun, di tengah-tengah pelantikan tersebut, seluruh hadirin terbelalak, bahwa Sunan Mrapen dalam forum tersebut sempat meramalkan, bahwa tak kan lama lagi akan berdiri sebuah kerajaan besar, dengan raja besar atau ratu tanah Jawa yang masyur, berdiri di daerah Mataram. Dan, Pajang pun akan dikalahkan Mataram. 


Seluruh forum kaget, apakah mungkin, Mataram hanya sebuah desa kecil dengan hutan yang lebat, meskipun dahulu pernah ada kerajaan besar Medang i Mataram (Mataram Kuno).


Alas Mentaok inilah tanah daerah Mataram yang dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pamanahan setelah berhasil membunuh Arya Penangsang. 


Mendengar ramalan Sunan Prapen Sultan Hadiwijaya ingin membatalkan pemberian tanah perdikan tersebut, tetapi Sunan Kalijaga hadir untuk mencegahnya dan meminta Sultan Hadiwijaya menepati janjinya sebagai seorang Raja.


Terlebih lagi, Ki Ageng Pamanahan juga bersumpah akan selalu setia terhadap kedaulatan Sultan Hadiwijaya di Pajang.


Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahan Demak Bintoro ke Pajang atau daerah Pengging, yang menandai berdirinya Kesultanan Pajang. 


Perjanjian Giring dan Pemanahan


Sementara Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya paling berhak atas hadiah sayembara tanah alas Mentaok malah belum mendapatkan haknya.


Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana. Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa sekaligus penyadab nira kelapa. 


Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu keraton itu akan turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.


Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir, wilayah Panggang, Gunungkidul. 


Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. 


Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.


Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng Giring di pekarangan rumahnya, hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. 


Namun Ki Ageng tidak pernah ragu sedikit pun atas dawuh gurunya, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin sebagaimana tuntutan ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu biji saja dan beliau mendapatkan mimpi yang aneh.


Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan caranya harus meminum airnya saendegan atau sekali teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh. 


Oleh karena itu, Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar cukup haus sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum.


Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya tidak ada di rumah. 


Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah degan di dapur. 


Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu.


Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud meminum degannya. Ternyata didapati degan kelapa sudah dibelah dan isinya sudah habis diminum.


Ia mendapati sang sahabat, Ki Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah. 


Dalam berbagai pentas kethoprak rakyat, dilukiskan dengan dialog sebagai berikut:


“Lo Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada sahabatnya.


“Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana kabar Kakang Giring?” kata Ki Ageng Pemanahan. 


“Kakang, karena kehausan dari perjalanan jauh, eh sampeyan dan mbakyu tidak ada. Aku langsung njujug pawon dan meminum degan yang ada di babragan milik Kakang, aku mohon maaf sebelumnya Kakang”, lanjut Pemanahan.


Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Tetapi hanya bisa pasrah. “Ada apa Kakang kok tampak tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku”. Kata Pemanahan terbata-bata dengan kebingungan.


“Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa berat. 


“Sebenarnya Adi, degan tersebut merupakan wahyu keraton yang telah aku upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan. Ia kemudian menceritakan mengenai ‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan atau buah kelapa tersebut. 


Dengan besar hati akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus rela anak cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini. Namun Adi, apabila engkau tidak berkeberatan izinkan juga anak cucuku setelah keturunan ke tujuh darimu juga ikut nunut mukti.”


Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh Kakang Giring aku minta maaf, karena ketidaktahuanku aku menjadi penghalang kemuliaan anak cucumu. Akan tetapi barangkali ini memang sudah garising pepesthen. 


Namun demikian, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah keturunanku yang ketujuh nanti anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. 


Dan untuk itu Kakang, apabila kita kelak mempunyai anak kuusulkan agar kita berbesanan sebagai jalan tengah”. Akhirnya kedua sahabat tersebut bersepakat.


Semasa hidup Ki Ageng Giring menikah dengan Nyi Talang Warih yang kemudian lahir dua orang anak, yaitu Kanjeng Rara Lembayung yang kemudian menikah dengan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati anak Ki Ageng Pamanahan yang menjadi Raja pertama Kerajaan Mataram


Sehingga Rara Lembayung merupakan Ratu Mataram pertama dengan gelar Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari. 


Membangun Mataram


Setelah 7 tahun mengalahkan Arya Penangsang pada tahun 1549, Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hak Alas Mentaok atau tanah Mataram pada tahun 1556. 


Ki Juru Martani ikut bergabung di desa itu yang kemudian dijadikan pemukiman hingga berkembang pesat.


Ki Ageng Pamanahan pun menjadi pemimpin pertama di situ dengan gelar Kyai Gede Mataram. 


Status Mataram pimpinan Ki Ageng Pamanahan adalah tanah perdikan atau daerah otonom yang bebas pajak dari Pajang. 


Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Danang Sutawijaya selaku pewaris Bumi Mataram supaya membangun pagar di sekeliling Kutaraja. 


Dengan takzim, Danang Sutawijaya pun menjalankan perintah gurunya. 


Namun, ternyata pagar yang dibuat oleh Danang Sutawijaya tersebut lebih menyerupai benteng. Bahkan, ia juga menanam pohon beringin kurung di alun-alun Mataram. Padahal, yang boleh menanam pohon beringin kurung saat itu hanya Raja Jawa atau Kasultanan Pajang saja.


Lebih mengherankan lagi, selama setahun lebih Danang Sutawijaya tak mau menghadap (sowan) kepada Sultan Hadiwijaya selaku Raja Jawa di Kasultanan Pajang. 


Danang Sutawijaya, bahkan membiarkan rambutnya tergerai panjang; sesuatu kebiasaan yang tak lazim bagi seorang nayaka praja di bawah Kasultanan Pajang.


Pembangunan di Bumi Mataram pun terus menggeliat. Banyak rakyat dari berbagai daerah yang berbondong-bondong mengadu nasib di Mataram karena tanahnya sangat subur-makmur dan gemah ripah loh jinawi. 


Dalam pada itu Danang Sutawijaya merekrut banyak prajurit, lalu digembleng dalam olah fisik dan kanuragan. Hari-hari Danang Sutawijaya pun dihabiskan untuk melatih kuda-kuda tunggangannya.


Nah, ada isyarat apakah semua itu? Apakah itu sebagai tengara bahwa Danang Sutawijaya hendak melakukan kudeta atau makar terhadap kepemimpinan ayah angkatnya sendiri Sultan Hadiwijaya di Pajang?


Suatu ketika Sutawijaya kena marah Ki Ageng Pemanahan yang telah ditegur Sultan Pajang Hadiwijaya. Persoalan itu dipicu ulah Sutawijaya yang membangun benteng mengelilingi Kademangan Mataram. 


Danang Sutawijaya juga menanam beringin kurung di alun-alun dan tiga kali tidak hadir dalam acara Perapatan Agung yang digelar Sultan Hadiwijaya. 


Apa yang dilakukan Danang Sutawijaya ditafsirkan sebagai upaya pembangkangan terhadap Pajang.


Usai ditegur Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan langsung datang ke Kademangan Mataram untuk menemui Danang Sutawijaya. Ki Ageng Pemanahan sontak memarahi putra lelakinya. 


"Apa maksudmu membangun benteng tinggi yang mengitari kademangan?, apa maksudmu memelihara beringin kurung?, apa maksudmu memperkuat prajuritmu? Lekas jelaskan!," bentak Ki Ageng Pemanahan.


Melihat murka ayahnya, di pendopo Kademangan Mataram tersebut, Sutawijaya kaget dan seketika terdiam. Sejurus kemudian dia baru berani membuka suara. 


Sutawijaya beralasan, apa yang dilakukan semata untuk mendapatkan keindahan dan ketentraman di Kademangan Mataram. 


"Tidakkah kau tahu bahwa mendirikan benteng tinggi mengitari sebuah wilayah dan memelihara beringin kurung di alun-alun hanya diperbolehkan bagi seorang raja?," sergah Ki Ageng Pemanahan.


Danang Sutawijaya kembali terdiam. Dalam hati sebenarnya dia ingin membayangkan menjadi raja di Kademangan Mataram atau Demang yang tampak seperti raja. Dalam situasi panas itu, datang Ki Juru Mertani dan berusaha menengahi. 


Laki-laki yang terkenal cerdik dan sebagai ahli strategi itu mengatakan dirinyalah yang menyuruh Danang Sutawijaya membangun Kademangan Mataram semegah mungkin. "Jika ada orang yang merasa tersaingi, orang itu adalah orang yang terhenti daya ciptanya," kata Ki Juru Mertani menjelaskan alasannya. 


"Agar Pajang tidak tersaingi, seharusnya Pajang membangun kraton lebih megah lagi. Itu baru persaingan sehat namanya," imbuhnya. 


Ki Ageng Pemanahan giliran yang terdiam. Dia kebingungan menentukan sikap dan akhirnya menyatakan tidak akan melarang Danang Sutawijaya. 


Namun sebelum meninggalkan pendopo kademangan, Ki Ageng Pemanahan menegaskan, meski tidak melarang dirinya juga tidak merestui. 


Ki Juru Mertani tidak menanggapi ucapan Ki Ageng Pemanahan yang langsung bergegas pergi. 


Dia memilih menenangkan hati Danang Sutawijaya. "Jangan murung Danang, seperti itulah sikap ayahmu sejak muda. Dia adalah hamba raja yang taat, setia dan teguh imannya,"


"Tetapi orang seperti ayahmu selamanya tidak akan pernah menjadi pemimpin yang baik. Dia akan menjadi hamba raja yang baik seterusnya". 


Danang Sutawijaya menyatakan tidak akan mengikuti jejak sikap ayahnya. Sutawijaya menyatakan diri ingin menjadi Pemimpin dan Raja.


"Teruskan sikapmu. Teruskan pembangunan bumi Mataram ini akan menjadi sebuah kerajaan besar di waktu nanti," pesan Ki Juru Mertani


Ki Ageng Pemanahan meninggal tahun 1575, digantikan Sutawijaya, yang berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.



Danang Sutawijaya atau Penembahan Senopati ing Alaga


Ki Juru Martani menjadi penasihat Sutawijaya. Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar.



Ki Juru Mertani menyarankan agar Sutawijaya pergi ke laut selatan. Dia sendiri akan meminta bantuan ke gunung Merapi.


Sutawijaya bersemedi di Pantai Selatan hingga air laut mendidih karena tekad kuatnya ingin menjadi Raja hingga Ratu Penguasa Pantai Selatan datang keluar menemuinya.


Juru Martani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung Merapi meminta bantuan penguasa di sana.



Raden Pabelan dan Putri Sekar Kedhaton


Diceritakan, Raden Pabelan merupakan putra petinggi Kerajaan Pajang Tumenggung Mayang, yang mempunyai kebiasaan bermain wanita.


Ibu Raden Pabelan nyi Mayang merupakan adik perempuan Danang Sutawijaya.


Sang ayah menentang anaknya untuk mendekati Sekar Kedhaton.


Awalnya Pabelan gentar dengan larangan itu, namun dia justru semakin tertantang jika bisa mendekati putri sang raja. 


Lewat dayang yang pergi ke pasar, Pabelan menitipkan bunga dan surat rayuan lewat perantara dayang itu," ujarnya.


"Sang Putri yang tergoda dan mendengar berita ketampanan Pabelan, mencari cara untuk mengundangnya masuk keputren," imbuhnya.


Dengan berbagai kesaktian dan cara, Raden Pabelan berhasil menembus pagar ghaib Kaputren dan masuk ke kawasan Keputren, dan menemui Sekar Kedhaton.


Tapi kedatangan Pabelan ke kamar keputren tercium pihak istana.


Sang raja kemudian memerintahkan Wirakerti, Suratanu, dan para jajaran prajurit Pajang untuk menangkap penyusup keputren itu. 


"Awalnya Raden Pabelan enggan untuk keluar, tetapi dengan janji akan dinikahkan, dan tidak akan dihukum, dia mau keluar dari dalam kamar sang putri," ujarnya.


Namun sesampainya di pelataran, tubuh Raden Pabelan dihujami berbagai senjata tamtama dari keris hingga tombak, hingga  dia meninggal dunia.



Jasad Raden Pabelan pun dibuang di sungai Laweyan, yang tak jauh dari lokasi makam Sekar Kedhaton


Sementara itu, Sekar Kedhaton yang tak bisa menerima kematian Raden Pabelan menjadi sedih, hingga memutuskan bunuh diri.


Putri memutuskan menyeburkan diri ke sumur Keputren


Pengasingan Tumenggung Mayang


Tumenggung Mayang dan isterinya setelah menyaksikan mayat anaknya yang di buang di sungai Lawéyan, dalam hatinya merasa terharu dan menyesal atas perlakuan pada putranya sendiri. 


Namun demikian, sejahat-jahat orang tua tidak mungkin sampai hati melihat anaknya dianiaya oleh orang lain, téga larané ora téga patiné . Kemudian memerintahkan beberapa orang untuk merawat jenazah Pabelan, dan di kebumikan dengan sebaik-baiknya.


Kemudian Tumenggung membuat nawala, untuk disampaikan kepada Senapati ing Ngalaga di Mataram, ia menulis sebagai berikut; 


“ kangmas bekti kula katura panduka yekti, wiyos kula, kangmas atur upeksi, putra tuwan pun Pabelan pinejahan Kanjeng Sultan Pajang wonten jroning pura nalika lambang asmara kaliyan dyah retna Murtèningrum inggih sekar kedhaton “ 


(Kanda Senapati, sebah baktiku, memberitahukan bahwa anakmu si Pabelan telah dibunuh oleh Sultan Pajang, di dalam kaputren, ketika sedang bercinta dengan putri sekar Kedaton).


Setelah membaca surat dari Tumenggung Mayang, Senapati ing Ngalaga hatinya tertegun, dalam hati mengatakan akan melakukan pemberontakan pada Pajang, lagipula sudah beberapa pisowanan memang tidak pernah hadir. 


Kemudian Senapati minta nasehat Ki Juru Martani. Ki Juru yang sudah waskita ing semu, mengetahui apa yang ada dalam pikiran Senapati ing Ngalaga, maka Juru Martani dengan pelan memberi nasehat.


Senapati, aku tahu yang ada dalam hatimu yaitu kamu berniat berani menentang Sultan Pajang, tetapi kalau kau bergerak setiap gerakmu telah terdeteksi jadi bukan dengan cara itu, tetapi buatlah masalah yang menjadi kelemahan Sultan, yakni telah Sultan telah ingkar janji.



Operasi Pembebasan


Kini Tumenggung Mayang dipanggil ke Bale Manguntur, tidak hanya kena marah kanjeng Sultan, tetapi di adakan sidang darurat kode etik yang dipimpin langsung oleh Sultan Pajang.


Keputusan Sultan, bahwa Tumenggung Mayang dicopot pangkat dan jabatannya, dan dicabut semua haknya di Katumenggungan, kecuali itu di buang ke Hutan Alas Roban bersama isterinya, dan tidak boleh kembali ke Pajang lagi. 


Tumenggung Mayang menerima perlakuan kehinaan akibat dari ulah putranya, tetapi nasi telah menjadi bubur, manusia harus menjalani takdirnya.



Selesai di eksekusi (1582 M), Tumenggung Mayang dengan dikawal 1000 prajurit dari Pajang mengawal keberangkatan Tumenggung Mayang ke Semarang, untuk di buang ke Hutan Alas Roban.


Sebelum berangkat nyi Mayang menyuruh abdi dalem katumenggungan untuk menyampaikan nawala ke Mataram kepada Senapati Ing Ngalaga.


Ringkas cerita utusan nyai Tumenggung sudah sampai di Mataram, surat telah dibaca oleh Senapati ing Ngalaga;


” katuring sembah bekti, dhuh kangmas Senapati, kawula atur upeksi rayi paduka samangkin angsal deduka saking kanjeng Sultan, binucal mring Semarang, mantri pamajegan cacah sèwu ingkang kinèn rumeksa kanan lan kèring. Kangmas karebata ingkang rayi, sampun sanès kang darbèni, kaabdèkna wonten ing Mentawis."


( Salam hormatku kanda Senapati, memberitahukan bahwa adikmu Tumenggung Mayang menerima hukuman dari Sultan Pajang, dan kini dibuang ke Semarang, mohon kanda rebut, jangan sampai dimiliki oleh kadipaten lain, jadikanlah sebagai abdi di Mataram).


Senapati ing Ngalaga setelah membaca surat itu, menjadi marah yang tak terkendali.


Kemudian berteriak-teriak memanggil teman-temannya.


” Hèh mitraningsun pamajegan sun jaluk karyanèki mantri kawandasa, lah rebuten dèn kena, pan iya sadulur mami Tumenggung Mayang, metu Kedhu aglis lah rebuten ngendi anggone kecandhak” 


( hai saudarasaudara-ku dari pasukan khusus, aku minta bantuan kalian sebanyak 40 orang untuk merebut kembali adikku Tumenggng Mayang yang kini di buang ke Semarang, kau hadang di tlatah Kedu, usahakan berhasil, berangkatlah segera).


Keempat puluh orang terpilih itu sudah berkumpul, senjata, kuda telah disiapkan, kemudian Senapati membagi-bagikan uang dan perhiasan kepada keempat puluh orang pasukan Khusus. 


Bagi yang menerima sangat senang sekali karena mendapat harta yang cukup banyak. 


Bagi Senapati ing Ngalaga itu sebagai dana krama (danakrama=membeli jiwa) .


Dalam hatinya, mereka sudah dapat menduganya ;


” inilah harga sebuah kepala kami untuk dipersembahkan pada pemimpin kami, tetapi semoga Hyang Widi memberikan keselamatan ”


Serentak menyampaikan sembah sebagai penghormatan terakhir. 


Keempat puluh pasukan khusus dari Mataram melesat cepat kearah utara menerobos Krendhawahana dan mendahului pasukan Pajang menunggu di seputar wilayah Kedu. (Lama perjalanan dari Pajang tidak diceritakan).


Ketika sampai di desa Jatijajar lereng barat gunung Merapi, pasukan berkuda dari bumi Mataram bertemu dengan rombongan pengawal terpidana Tumenggung Mayang. 



Pasukan pengawal Tumenggung Mayang yang ada di depan diterjang pasukan dari Mataram menjadi bubar.


40 orang pasukan berkuda dari Mataram, merupakan orang-orang pilihan yang yang telah terbiasa melakukan pertempuran, dan tanpa rasa takut. 


Pengawal yang berjumlah 1000 orang karena memang tidak dipersiapkan dari awal untuk bertempur, maka ketika mendapat serangan mendadak, tak bisa berbuat banyak.


Pasukan dari bumi Mataram setelah mengetahui sasarannya, yakni seorang lelaki yang diikat kedua tangannya, jelas bahwa itulah yang harus diamankan. 


Maka empat puluh orang berkuda menerjang ke depan Tumenggung Mayang ditarik keatas kudanya dan dibawa kabur kearah selatan, dan diikuti oleh teman-temannya yang lain.


Pajang menyerbu Mataram


Pasukan dari Pajang sudah kocar-kacir, ada yang luka, kemudian semua kembali kearah semula melaporkan kejadiannya ke Sultan Pajang. Semua peristiwa yang terjadi di desa Jatijajar dilaporkan kepada Sultan Hadiwijaya.


“ pejah gesang katura Gusti Nata, tiwas rumeksèng dasih pun Tumenggung Mayang, rinebat ing dusun Jatijajar déning tiyang kawandasa cacahipun saking Mataram “ 


( hidup mati hamba kami serahkan kepda Sultan, tawanan Ki Tumenggung Mayang, telah direbut oleh 40 pasukan dari Mataram, ketika kami sampai didesa Jatijajar).


Sultan Pajang ketika mendengar laporan komandan Pasukan, dengan suara keras bersabda:


” wis nyata yèn Sénapati wis cetha ing pambalikira, déné wis wani murwa aprang, lah payo padha dilurugi Senapati, kabèh prajurit pada dandana aglis” 


( Sudah jelas sekarang ini Senapati ing Ngalaga melakukan pembelotan, dan bahkan sudah berani mendahului perang terbuka, Patih, segera kumpulkan para prajurit kita menuju ke bumi Mataram)


Sultan Pajang meninggalkan bale Manguntur, dan masuk ke istana untuk berganti busana perang. Semua pusaka disiapkan untuk menghadapi lawan yang tangguh. 


Seluruh pasukan tempur kerajaan disiapkan untuk menghantam pasukan Mataram, pasukan dipimpin langsung oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya.



Ini jarang terjadi seorang raja memimpin perang sendiri, padahal banyak para Panglima perang muda yang sakti mandraguna. Tetapi pertimbangan Sultan Pajang berbeda, karena yang dihadapi adalah anak angkatnya sendiri, Danang Sutawijaya.


Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. 


Karena konon Sutawijaya mendapat bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul sang penguasa Laut Selatan dan Penguasa Gunung Merapi.


Di hari ketika kedua pasukan sudah siap bertempur, baik Sutawijaya maupun Ki Juru Mertani membaca mantra, minta bantuan kepada semua makhluk yang telah terkoneksi dengan mereka. 


Saat itu juga banyak sekali makhluk dari alam gaib yang membantu perjuangan Panembahan Senopati. Tiba-tiba saja gunung Merapi meletus mengeluarkan lava dan lahar panas.


Material letusan Merapi itu memenuhi Kali Opak. 



Di saat yang bersamaan kayu-kayu yang ada di perbukitan Gunung Kidul pun dibakar dan menimbulkan cahaya serta warna merah membara. 


Tidak lupa pusaka bende sakti Kiai Bicak juga ditabuh dengan nyaring guna menakut-nakuti pasukan Pajang.


Dan benar saja, pasukan Pajang kocar-kacir. Mereka ketakutan karena merasa mendapat serangan yang dahsyat dari pasukan Mataram dan Lahar Gunung Merapi.


Adipati Tuban sudah berusaha membangkitkan semangat orang-orang Pajang dan Sultan Hadiwijaya, namun usahanya sia-sia saja.


Rencana dari Sutawijaya dan Ki Juru Mertani berhasil. 



Sehingga pasukan Pajang dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram dan dengan terpaksa Hadiwijaya melarikan diri


Hadiwijaya pun ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. 


Raja Pajang ini bahkan tidak mampu membukanya sehingga dia berlutut saja di luar dan membuka ikat pinggang sakti Kiai Bajulgiling.


Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi Raja.


Hal ini amat mengguncangkan jiwa Hadiwijaya. Pada malam hari dia tertidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.


Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi ikat pinggang sakti Bajulgiling tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat. Sehingga gajah yang menjadi tunggangannya menjadi liar dan membuat Hadiwijaya terjatuh


Beberapa abdi dalem yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kiai Buyut Banyubiru di pinggang sang raja.


Mereka ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan pintu makam Sunan Tembayat.


Kondisi kesehatan Sultan Hadiwijaya makin bertambah parah. 


Senopati membawa 40 orang pengawalnya untuk berjalan di belakang rombongan Sultan Hadiwijaya. 


Senopati dan pasukannya tidak terlihat beringas, namun tetap menunjukkan rasa hormatnya. 


Karena itulah saat Pangeran Benowo minta izin pada ayahnya akan menghabisi Senopati, Hadiwijaya menolak. 


Bahkan Pangeran Benowo diberi pesan agar selalu menuruti perintah kakaknya Sutawijaya atau Senopati.


Tampaknya Senopati alias Sutawijaya sudah mempunyai firasat bahwa Sultan Hadiwijaya akan segera wafat. 


Ia menyuruh pengawalnya untuk membeli sejumlah bunga selalih lalu diletakkan di pintu barat alun-alun Pajang.


Namun dalam keadaan sakit Hdiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir.


Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Hadiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua di Kesultanan Jawa.


Sultan Hadiwijaya akhirnya meninggal dunia pada tahun 1582. Dia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.



Komentar

Tampilkan

  • Kisah Tanah Jawa: Perang Pajang dan Mataram
  • 0

Kabupaten